Salah Asuhan dan Mental Penjajah, Mengapa Barat Selalu Dianggap Lebih Baik?

Minggu, 1 Juni 2025 18:32 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Novel ini tidak hanya mengkritik Hanafi sang tokoh utama, tetapi juga mengkritik kita sebagai pembaca.

Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, pembaca disuguhi sebuah potret menyakitkan tentang bagaimana adat Timur sering kali dipandang remeh oleh bangsanya sendiri, sementara budaya Barat dielu-elukan seolah tak bercela. Novel ini tidak hanya menjadi kritik terhadap tokoh utamanya, Hanafi, tapi juga terhadap masyarakat yang mulai kehilangan identitas karena mabuk akan modernitas ala Eropa.

Fenomena ini nyatanya masih terjadi hingga kini. Dalam studi pascakolonial, hal ini dikenal dengan istilah orientalisme—yakni cara pandang dunia Barat yang menempatkan budaya Timur sebagai sesuatu yang eksotik, terbelakang, dan inferior. Lebih parahnya, cara pandang ini sering kali diadopsi oleh masyarakat Timur sendiri. Kita yang dulu dijajah, kini secara tak sadar menjadi penjajah bagi diri kita sendiri—melalui pikiran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lihat saja bagaimana kita masih silau dengan segala yang "bule". Warna kulit terang seolah menjadi simbol kemajuan, kecantikan, dan kelas sosial tinggi. Dalam hubungan antar-ras, sering kali terjadi glorifikasi terhadap laki-laki kulit putih yang menikahi perempuan lokal. Sebaliknya, jika perempuan Barat menikahi laki-laki Timur, masyarakat cenderung mencibir, takut "garis darah" anaknya lebih dominan pada pihak ayah yang berkulit gelap dan berasal dari dunia ketiga.

Inilah bentuk mimikri—sebuah konsep yang dijelaskan oleh Homi K. Bhabha, di mana masyarakat jajahan berusaha meniru budaya penjajah. Namun tiruan ini tidak pernah utuh, selalu berada di antara—tidak sepenuhnya Timur, tidak pula diterima sepenuhnya sebagai Barat. Akibatnya, lahirlah masyarakat yang mengalami krisis identitas: bangga belajar ke luar negeri, namun pulang dengan rasa superior dan alergi terhadap budaya sendiri.

Akankah kita terus berada dalam mentalitas kalah ini?

Sudah saatnya kita melepaskan diri dari jerat pemikiran bahwa Barat selalu lebih baik. Bukan berarti menolak modernitas, tetapi menyaringnya dengan akal sehat dan kepribadian bangsa. Kita bisa belajar dari luar, namun bukan berarti kehilangan jati diri. Justru bangsa yang kuat adalah mereka yang mampu berdialog dengan dunia, tanpa harus mengorbankan akarnya.

Salah Asuhan adalah cermin. Dan bangsa yang besar adalah mereka yang berani bercermin—meski yang terlihat adalah wajah luka.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Siti Fatimah Husna

Penulis Indonesiana juga seorang Mahasiswa di UIN Jakarta dengan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua